Minggu, 27 Maret 2011

Peristiwa Heroik Bandung Lautan Api

Legenda, mitos, dongeng dan cerita rakyat, oleh masyarakat awam cenderung disamakan dengan sejarah, bahkan hal-hal tersebut sering diidentikkan dengan sejarah di Indonesia (hikayat, tambo, babad, dll.) selalu saja terdapat unsur legenda dan mitos di dalamnya, dengan kata lain sesuatu hal yang belum tentu terjadi ikut dalam bagian cerita. Apakah bangsa ini menganggap mitos, legenda, dongeng, dan cerita rakyat merupakan bagian dari sejarah? Atau semua hal tersebut merupakan bumbu yang senganja ditaburkan agar sejarah menjadi lebih menarik untuk disimak? Bukankah sejarah itu harus ditulis sebagaimana peristiwannya terjadi, tidak boleh ditambah dan dikurangi dengan dalih apapun.
Awalnya saya kira pemitosan sejarah hanya terjadi dalam Histrogafi Tradisional saja dimana alam pemikiran masyarakat masih diwarnai oleh hal-hal tersebut, kiranya dugaan saya keliru. Ternyata di zaman modern seperti sekarang ini, di mana segala sesuatu harus serba rasional masih juga terjadi pemitosan sejarah. Padahal kita tahu bahwa mitos dan sejarah dipandang dari sudut manapun, diterjemahkan ke dalam bahasa apapun tetap menjadi dua hal yang berbeda serta saling bertolak belakang.
Tanpa pernah kita sadari begitu banyak peristiwa sejarah yang dimitoskan. Peristiwa Bandung Lautan Api adalah salah satu diantaranya, mungkin Anda akan bertanya, mengapa Bandung Lautan Api dianggap sebagai pemitosan sejarah, bukankah Bandung Lautan Api merupakan peristiwa yang sangat heroik di mana warga Bandung pada waktu itu rela membumihanguskan kotanya tercinta agar tidak diduduki oleh tentara sekutu, kemudian mereka mengungsi ke daerah pegunungan di bagian selatan.
Seperti kisah sejarah di Indonesia lainnya yang telah banyak direkayasa atas kehendak pihak-pihak tertentu demi legitimasi, begitu juga dengan kisah Bandung Lautan Api. Di mana ada terdapat penambahan dan pengurangan untuk membuat kisah ini seakan-akan sungguh heroik. Maksudnya, kisah Bandung lautan Api yang sekarang kita banyak dengar atau dibaca di buku-buku sekolah ternyata banyak menyimpan pertanyaan yang didasarkan atas kenyataan yang terjadi sebenarnya.
Sebenarnya jika kita mau dengan jeli mengamati kisah peristiwa Bandung Lautan Api yang sering disajikan dalam buku-buku sekolah, bisa terlihat adanya keganjilan atau ada juga yang mengatakan sebagai kekonyolan yang terjadi saat peristiwa tersebut.
Hal yang patut diperbincangkan dan patut dipertanyakan ialah mengenai sasaran pembakaran yang terjadi sejak malam hari pada tanggal 24 Maret 1946 sampai dini hari 25 Maret 1946 itu. Sebagian besar bangunan yang dibakar oleh TRI ialah rumah rakyat atau orang-orang sipil, dan ini sungguh memunculkan tanda tanya besar. Mengapa mesti membakar rumah-rumah rakyat? Karena kenyataan pihak sekutu dalam situasi perang seperti itu tidak mungkin memakai rumah rakyat yang berada di Bandung bagian selatan untuk dijadikan markas apalagi dipergunakan untuk ditinggali tentara sekutu atau orang-orang Eropa yang sempat diinternir. Dan juga apakah pembakaran itu memenga disepakati oleh seluruh rakyat Bandung saat itu? Yang pada akhirnya pun korban pembakaran itu ialah rakyat sipil. Begitu banyak rumah yang dibakar sehingga beberapa saat kemudian disaat rakyat berangsur-angsur pulang dari pengungsian di perbukitan di Bandung selatan, mereka hanya menemui puing-puing sisa rumah mereka sebagai akibat pembumihangusan yang dilakukan oleh tentara dan laskar.
Kenyataannya, dampak yang ditimbulkan oleh aksi bumi hangus dari para “pahlawan” itu terhadap gerak ofensif sekutu sama sekali bukanlah rintangan. Gerak ofensif sekutu yang membangun basis disekitar Bandung Utara tidaklah mendapat hambatan dari bangunan-bangunan yang dibakar. Karena sudah sejak sebelumnya sekutu memang berencana menggempur daerah Bandung sebelah selatan yang merupakan basis Tentara Republik Indonesia. Dan sekutu tidak banyak dirugikan atas aksi pembakaran tersebut. Selain itu pula, bangunan-bangunan besar buatan masa kolonial dengan tembok dan struktur bangunannnya yang kokoh yang dicoba untuk diledakan dengan peledak buatan lokal oleh pihak TRI ternyata tidak menghasilkan kerusakan yang berarti. Dalam beberapa pekan kemudian bangunan-bangunan itu sudah bisa dipergunakan kembali oleh pihak sekutu.
Mungkin yang paling ironis adalah terjadinya aksi penjarahan yang menimpa rakyat sipil Indonesia yang dilakukan oleh oknum-oknum tentara. Ketika pertempuran-pertempuran melawan sekutu masih berkecamuk, tidak sedikit oknum tentara yang memanfaatkan momen itu demi kepentingan pribadi. Ditemukan beberapa kasus penjarahan dan perampasan harta milik orang sipil dengan dalih dana perjuangan. Selain itu pula adanya banyak perampasan uang milik rakyat yang pada waktu itu masih menggunakan mata uang Belanda, dengan alasan bahwa rakyat yang menyimpan uang Belanda adalah pendukung Belanda dan penghianat bangsa.
Bandung Lautan Api adalah sedikit dari banyak kasus pemitosan sejarah. Oleh karena itu, sudah semestinya lagi kita harus lebih arif dalam memaknai sebuah peristiwa sejarah. Seperti yang pernah dituturkan oleh Leopold von Ranke, sejarah yang ditulis haruslah sebagaimana peristiwa itu terjadi (wie es eigentlich gewesen ist), dengan kata lain kita juga harus bisa memaknai atau melihat peristiwa sejarah sebagaimana peristiwa itu terjadi bukan menambahi atau mengurangi demi kepentingan tertentu, jadi jangan hanya karena kita orang Bandung maka segala sesuatu hal yang berhubungan dengan Bandung kita agung-agungkan (termasuk Bandung Lautan Api, yang pada kenyataannya banyak hal-hal konyol yang terkandung di dalamnya). Cobalah untuk melihat segala sesuatu (termasuk sejarah) itu dari berbagai sisi sehingga kita dapat mengambil manfaat serta faedah yang terkandung di dalamnya. Jika disampaikan sebagaimana mestinya, sejarah merupakan media edukatif yang cukup efektif, akan tetapi jika banyak mitos yang terkandung di dalamnya, maka hal tersebut pada akhirnya hanya akan membodohi kita semua.